top of page

Ide Keren Tukang Sablon Ubah Sampah Plastik Jadi Bensin Skuter

Mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar sekelas premium | PT Rifan Financindo Berjangka


Melalui alat ini lima kilo gram sampah plastik yang telah dicacah bisa diolah menjadi dua-tiga liter bensin atau solar dengan lama pengolahan antara lima hingga 10 menit.


Saat ini Dimas sedang berkeliling mengenalkan alatnya sebagai solusi mengurangi sampah plastik dengan berkeliling dari Jakarta hingga Bali yang dimulai sejak 19 Mei kemarin. Rencananya selama perjalanan Dimas dan timnya akan berkunjung ke 15 tempat.


Uniknya selama perjalanan Dimas menggunakan Vespa usang miliknya yang menggunakan bahan bakar hasil olahan dari alat ciptaannya itu. Tidak hanya itu selama perjalanan Dimas yang seorang tukang sablon juga membagikan kaos #PeduliSampahPlastik pada sejumlah orang yang ditemuinya.


"Kalau kerja sama dengan daerah sih sejauh ini belum ada. Tapi malah kemarin yang respon duluan dari Jepang, kemungkinan nanti kita akan ada pertemuan lagi," tandas Dimas.


"Pengetahuan itu bisa dari mana saja. Dan saya termasuk orang yang suka hal baru sebagai solusi. Bagi saya tidak ada yang mustahil, saya saja hanya tukang sablon bisa membuat alat seperti ini," katanya.


Mesin berwarna silver ciptaannya itu memiliki tiga bagian. Bagian pertama adalah tabung gas sebagai bahan bakar, tabung pembakaran sebagai tempat pengolahan dan terakhir adalah selang penghubung yang akan menghasilkan bensin atau solar.


"Ini pakai metode destilasi kering. Mengubah benda padat menjadi cair dengan pemanasan yang tinggi sehingga menghasilkan gas kemudian menjadi minyak. Nah minyak itu bisa bensin atau solar tanpa olahan lagi," ujarnya.


Setelah melakukan serangkaian percobaan Dimas pun mendapat sebuah formula dan menerapkannya menjadi sebuah alat yang kini bisa menghasilkan bensin atau solar itu. Dengan modal kurang dari dua juta pria asal Surabaya ini berhasil menciptakan alat tersebut pada tahun 2014.


Berawal dari kegelisahan akan sampah plastik, Dimas Bagus Wijanarko (42) kini berhasil menciptakan sebuah alat yang bisa mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar sekelas premium.


Ide tersebut berawal dari Dimas yang kerap menemukan tumpukan sampah saat mendaki gunung, terutama sampah plastik. Akhirnya ia terpikir untuk mencari solusi agar sampah tersebut tidak hanya berkurang tapi juga bisa bermanfaat.


"Awalnya saya bertemu teman, dikasih pengetahuan. Terus belajar juga dari berbagai artikel soal sampah plastik ini. Akhirnya mulai coba-coba buat alat ini," ujar Dimas saat ekspose alat temuannya itu di Kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bandung, Senin (21/5/2018).

Tukang Sablon Ini Olah Sampah Plastik Jadi BBM | PT Rifan Financindo Berjangka

"Saya berangkat dari 19 Mei kemarin sampai Bali kira-kira 30 Juni. Ada 15 tirik yang akan saya singgahi. Di titik-titik itu saya dan teman-teman koordinator akan melakukan workshop," ujarnya.


Melalui kampanye ini, ia berharap, masyarakat semakin sadar untuk lebih peduli pada persoalan sampah. Dengan kepedulian mengolah sampah yang dimulai dari sumbernya.


"Bukan berarti adanya alat ini kemudian kita jadi konsumtif, banyak menghasilkan sampah. Tapi kita mencoba mengurangi predikat Indonesia sebagai negara pembuang sampah plastik terbesar kedua di dunia. Keinginan saya dari 2014 saya ingin banget Indonesia bebas dari sampah palstik," harapnya.


Kini, lewat tim yang tergabung dalam organisasi Gerakan Tarik (Get) Plastic, pria berusia 42 tahun ini tengah berkampanye keliling Indonesia. Ia mengenalkan alat buatannya dan mengkampanyekan pengolahanan sampah plastik menjadi sumber energi.


Menggunakan vespa super 1977, Founder Get Plastic ini memulai perjalanannya dari Jakarta menuju Bali. Dengan jarak sekitar 1.200 kilometer, bahan bakar yang digunakan motor vespanya merupakan hasil dari pengolahan sampah plastiknya.


Sampah plastik yang telah dipanaskan pun hasil akhirnya menjadi residu abu yang tidak akan mencemari lingkungan. Alat yang diciptakannya pun biaya pembuatannya kurang dari dua juta rupiah saja.


Ia mengaku, memang tidak memiliki titel sarjana teknik. Ia hanya peduli dan mencoba memberikan kontribusi nyata untuk memgkampanyekan gerakan pelestarian lingkungan.


Berbagai risiko dari awal pembuatan alat ini sudah dialaminya. Mulai dari kompor meledak, terkena minyak panas akibat bocornya tabung hingga kini alatnya sudah sangat aman digunakan.


Hingga saat ini memang belum ada institusi pemerintah yang tertarik bekerjasama dengan pihaknya untul memggunakan alat ini. Justru perwakilan Pemerintah Jepang yang beberapa waktu lalu mendatanginya karena tertarik dengan alat yang dikembangkannya.

Ia mengungkapkan, lewat alat tersebut sebanyak 1 kilogram plastik bisa diubah menjadi satu liter premium. Meski nilai oktannya hanya 82 atau di bawah premium yang diproduksi Pertamina, namun bahan bakar ini tetap bisa digunakan. Bukan hanya untuk bahan bakar kendaraan, tapi juga bisa untuk kebutuhan pembakaran lainnya.


Menurutnya, jenis plastik yang paling baik diolah menjadi minyak ialah yang berjenis low density polyethilene (LDPE). Plastik jenis ini biasa digunakan untuk kresek, bungkus mie instan dan kopi sachet.

Ia merakit alat sederhana dari barang-barang bekas.


Alat berbentuk kotak sebagai tabung reaktor menjadi tempat dibakarnya sampah plastik menggunakan api yang berasal dari tabung gas ataupun minyak dengan suhu 400 derajat Celcius. Tabung ini disambung dengan menggunakan pipa instalasi yang terhubung ke kondensor yang akan mendinginkan gas hasil pembakaran plastik. Hasil pendinginan inilah yang menjadi minyak murni.


"Jadi sistem kerjanya metode destilasi kering dengan pemanasan suhu tinggi dengan minimal atau tanpa oksigen sehingga ada proses kimiawi dari gas jadi cair," ujarnya.


Tidak membutuhkan waktu yang lama, cukup 5-10 menit tetes demi tetes minyak itu akhirnya keluar. Alat yang diciptakannya ini menghasilkan bahan bakar jenis premium.


"Bukan memperpanjang umur sampah, tapi cari solusi menghabiskan sampah sehingga bisa bermanfaat. Jadi dari beberapa artikel saya pelajari akhirnya saya menemukan mengubah sampah palstik jadi minyak. Saya bukan akademisi, tapi saya punya kemauan dan tekad serta kepedulian terhadap masalah sampah," kata Dimas di Kantor Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung, Jalan Sadang Serang, Senin (21/5).


Setiap plastik, kata dia, memiliki kandungan minyak. Hal ini menjadi salah satu penyebab, sampah plastik butuh ratusan tahun untuk terurai. Oleh karenanya, ia berpikir alangkah lebih baiknya diambil minyaknya melalui proses pengolahan.


Dimas Bagus Wijanarko bukan ahli kimia. Tidak menimba ilmu teknik mesin ataupun perminyakan. Tapi dari kejeliannya, tetes demi tetes minyak yang digunakan untuk bahan bakar bisa dihasilkan.


Pria asal Surabaya itu hanya seorang tukang sablon. Siapa sangka, Dimas kini mendedikasikan diri untuk pelestarian lingkungan, terutama mengatasi persoalan sampah plastik. Ia membuat alat yang menghasilkan minyak dari pengolahan sampah plastik.


Berawal dari hobinya naik gunung, ia mengaku prihatin banyaknya sampah bahkan di tempat yang seharusnya lestari alamnya. Indonesia negara yang dibanggakam potensi alamnya, justru menjadi penghasil sampah terbesar nomor dua setelah Tiongkok.


Hingga 2014, tercetuslah ide membuat alat pengolah sampah. Terinspirasi teknologi pengolahan sampah menjadi minyak dari Jepang, ia membuat alat pembakar sampah plastik yang kemudian disuling menjadi minyak mentah.

Jika Tiap Rumah Ada Alat Ini, Masalah BBM dan Sampah Bisa Diatasi | PT Rifan Financindo Berjangka


Sampai sejauh ini, alat yang dikembangkan Dimas dan rekan-rekanya di Get Plastic baru bisa mengolah plastik berbentuk kantong, baik kantong kresek maupun makanan. Sebab plastik jenis itulah yang jadi masalah besar. Karena sering dilupakan dan tak diolah dengan baik. Berbeda dengan plastik botol yang kerap jadi buruan pemulung karena punya nilai ekonomis.


Kita punya masalah dengan sampah palstik dan tidak tahu cara penangaanannya. Kita coba menghasilkan suatu solusi bagaimana cara penanganannya. Kalau nanti bisa dipakai masyarakat luas ya kami sangat bersyukur," ucap Dimas.


Misi itulah yang melatarbelakangi Dimas untuk touring Jakarta-Bali dari 19 Mei hingga 30 Juni, sekaligus mengkampanyekan gerakan #pedulisampahplastik. Selama perjalanan, Dimas akan singgah di 15 kota untuk mengadakan workshop seputar pengolahan sampah plastik. Dimas berharap kampanye #pedulisampahplastik bisa menggerakan masyarakat untuk lebih peduli terhadap lingkungannya, terutama terkait sampah plastik.


Setelah mencapai suhu tersebut, Dimas menyebut sampah plastik akan berubah menjadi gas. Gas itulah yang kemudian dipecah menjadi minyak mentah. Komposisi minyak mentah ini, kata Dimas, terdiri atas 60 persen solar, 30 persen bensin, dan sisanya minyak tanah.



Melalui proses destilasi, minyak mentah tadi dapat dikonversi menjadi 3 liter bensin dengan kadar oktan RON 82. Meski di bawah kadar oktan premium yang dijual Pertamina (RON 88), Dimas menyebut bahan bakar tersebut sudah diuji dan berhasil diterapkan ke sepeda motor Vespa Super tahun 1977 miliknya.


Dari 2013 hingga 2014, Dimas dan rekan-rekannya sering menemukan banyaknya sampah plastik di jalur pendakian. Mereka pun tergugah bagaimana caranya agar sampah plastik ini bisa diolah menjadi sesuatu yang berguna. "Ada salah satu teman yang mengatakan plastik ternyata mengandung minyak," kata Dimas saat ditemui Kompas.com di Gudang Sarinah Ekosistem, Pancoran, Jakarta, Sabtu (19/5/2018).


Sejak 2014, Dimas dan rekan-rekannya yang tergabung di Gerakan Tarik Plastik (Get Plastic) mulai mengembangkan alat khusus yang bisa mengolah sampah plastik menjadi minyak.


Ketergantungan akan plastik di Indonesia dinilai masih tinggi. Namun tingginya ketergantungan itu belum disertai dengan kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi terhadap kelestarian alam. Plastik sering digunakan untuk sekali pakai, setelah itu dibuang begitu saja. Padahal dari hasil penelitian, dibutuhkan waktu hingga 500 tahun agar plastik bisa hancur dan terurai di alam.


Kondisi itu tidak hanya terjadi dalam kehiduan sehari-hari di permukiman, tapi bahkan di gunung-gunung yang jadi tempat pendakian. Hal itulah yang diakui pernah dilihat oleh Dimas Bagus Widjanarko, seorang aktivis lingkungan yang sering mendaki gunung.




bottom of page