Rupiah Masih Jeblok Usai Suku Bunga BI Naik, Ini Penyebabnya
Keputusan Bank Indonesia (BI) yang menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate 25 basis poin | PT Rifan Financindo Berjangka
Adapun keputusan BI menaikkan suku bunga acuan dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah tantangan kondisi global saat ini. Tantangan yang dimaksud adalah normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat yang direspons dengan pengetatan kebijakan moneter baik di negara maju maupun berkembang.
Dikutip dari data Bloomberg, rupiah di pasar spot sore ini melemah 0,7 persen atau 98 poin menjadi Rp 14.156 per dollar AS. Sementara di Jisdor nilai tukar rupiah melemah ke posisi Rp 14.107 per dollar AS.
Menurut Josua, pelaku pasar sudah memprediksi kenaikan suku bunga acuan sehingga obligasi ditransaksikan pada imbal hasil yang lebih tinggi, menyebabkan harga obligasi jadi turun. Selain itu, kenaikan BI 7-DRRR mendorong kenaikan cost of borrowing, yang memengaruhi keuntungan perusahaan terbuka yang ujungnya berdampak pada pasar saham.
"Kenaikan suku bunga acuan dapat mendorong investasi pasar uang akan cenderung lebih atraktif di tengah fluktuasi di pasar keuangan," tutur Josua.
Menurut saya, pelemahan rupiah pasca-keputusan BI kemarin turut juga dipengaruhi oleh koreksi di pasar keuangan seiring kenaikan imbal hasil surat utang pemerintah AS yang selanjutnya memicu permintaan dollar AS di pasar global," kata Vice President Economist PT Bank Permata Tbk Josua Pardede kepada Kompas.com, Jumat (18/5/2018).
Kenaikan imbal hasil surat utang pemerintah Amerika Serikat tercatat menyentuh level 3,07 persen, di mana itu merupakan level tertinggi untuk tahun ini. Selain itu, kenaikan suku bunga acuan turut dinilai berdampak pada pasar keuangan, yakni pasar saham dan pasar obligasi.
Keputusan Bank Indonesia (BI) yang menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate 25 basis poin jadi 4,5 persen belum berdampak pada stabilisasi nilai tukar rupiah, seperti harapan awal. Ada sejumlah hal yang dinilai mendorong pelemahan rupiah terhadap dollar AS pasca-kenaikan suku bunga acuan.
BI Rate gagal mengangkat rupiah | PT Rifan Financindo Berjangka
Sementara itu, ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai, sebenarnya efek kenaikan BI 7-day reverse repo rate belum terasa pada pergerakan rupiah di akhir pekan ini. Selain itu, selama sepekan ini, rupiah terus terpukul oleh sentimen eksternal, khususnya dari AS.
"Rupiah melemah saat ini lebih karena kenaikan imbas hasil yield US Treasury tenor 10 tahun yang kembali bergerak di atas 3% dalam beberapa hari terakhir," jelas dia.Sentimen ini diperkirakan tetap bertahan di pekan depan. Rupiah diprediksi bergerak di kisaran Rp 14.080-Rp 14.170 per dollar AS.
Sedangkan Lukman memperkirakan kurs rupiah bergerak di rentang Rp 14.075-Rp 14.300.Menurut analis Valbury Asia Futures Lukman Leong, walaupun suku bunga acuan telah naik, namun kondisi ekonomi dalam negeri belum cukup bagus.
"Pertumbuhan ekonomi masih tidak bagus jadi apa gunanya menaikkan suku bunga saat ini," kata dia, kemarin (18/5).Bahkan menurut Lukman, kenaikan suku bunga justru membawa dampak kurang bagus untuk rupiah.
Bisa jadi, pertumbuhan ekonomi malah semakin dipaksakan untuk terus naik sedangkan kondisi ekonomi masih stagnan.Keputusan Bank Indonesia (BI) mengerek suku bunga acuan atawa BI 7-day reverse repo rate sebesar 25 bps menjadi 4,50% belum mampu menopang pergerakan rupiah.
Buktinya, di akhir pekan ini rupiah kembali bertekuk lutut di hadapan dollar Amerika Serikat (AS).Kemarin (18/5), kurs rupiah di pasar spot anjlok 0,70% ke posisi Rp 14.156 per dollar AS.
Dalam sepekan, valuasi rupiah sudah terkoreksi 1,40%. Ini adalah posisi tertinggi mata uang Garuda sejak Oktober 2015 lalu.Serupa, pada kurs tengah BI, rupiah juga terkapar setelah melemah 0,23% menjadi Rp 14.107 per dollar AS. Dalam sepekan, kurs tengah bank sentral turun 0,42%.
Rupiah Masih Melemah meski BI Rate Naik, Ini Kemungkinannya | PT Rifan Financindo Berjangka
"2015 sudah naikin bunga dan sekarang di 2018 (pada bulan Maret 2018). Tahun 2014 tenang, begitu pula 2016 dan 2017. Walaupun saat itu suku bunga juga naik," jelasnya.
Lebih lanjut Mirza mengatakan kenaikan suku bunga oleh The Fed tidak selalu menimbulkan gejolak. Sebagai negara yang membutuhkan pendanaan daru luar negeri kebijakan ini diambil agar inflasi, CAD (current account defisit/defisit neraca berjalan dan BoP (balance of payment/neraca pembayaran) tetap terjaga.
"Di 2018 ada adjustment dari financial market yg lebih cepat dibandingkans situasi 2015 hingga 2017, financial market ada adjustment terhadap posisi funding yang merubah aliran modal di negara-negara berkembang sehingga memang ada volatility lebih tinggi," lanjut Mirza.
Selain itu, pada tahun 2018 ini negara lain selain AS juga menaikkan suku bunga kebijakan mereka. Sehingga, untuk menjaga masuknya dana luar negeri di Indonesia, langkah kenaikan suku bunga ini diambil oleh BI.
"Jadi kita sesuaikan suku bunga agar tetap dalam koridor. Kita kelola angka-angka rasio makro, inflasi dan neraca pembayaran dengan prudent," tukasnya.
Menurutnya, bauran kebijakan yang dilakukan oleh BI, salah satunya melalui penyesuaian suku bunga kebijakan ini, dapat menjaga stabilitas perekonomian di tengah ketidak pastiak eonomi global. Sementara itu, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, sebagai negara dengan neraca perdagangan yang defisit, Indonesia sangat membutuhkan pendanaan dari luar negeri. Sehingga, dengan meningkatnya suku bunga Bank Sentral Amerika The Fed, langkah BI untuk meningkatkan suku bunga memang diperlukan.
"Defisit itu harus dibiayai dari dana luar negeri yang mayoritas berbentuk mata uang dolar AS, baik yang masuknya sebagai portofolio flows, FDI (foreign direct investment) atau utang luar negeri," Walaupun, dirinya melanjutkan, suku bunga The Fed sudak naik sejak akhir 2015.
Selain itu, gejolak kurs jika dilihat secara historis sudah terjadi sejak tahun 2013 ketika AS sudah memberikan pertanda akan meningkatkan suku bunga.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan, naiknya suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI7-DRRR) merupakan respon BI untuk menhindari risiko inflasi yang dapat mendorong depresiasi lebih lanjut terhadap kondisi makroekonomi Indonesia.
"BI ketika merespon kebijakan ini, dalam banyak hal BI ingin meyakini adanya depresiasi ataupun ekspetasi defisiasi yg dapat menimbulkan risiko kepada inflasi. Dan kita tidak ingin depresiasi akan berdampak terhadap inflasi yang akhirnya akan kembali pada depresiasi," ujarnya dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur di Gedung Bank Indonesia, Kamis (17/5/2018).
Terkait dengan pelemahan tersebut, ekonom dari Ekonom Institute for Development Economic and Finance ( INDEF) Eko Listiyanto mengatakan, investor masih menghitung kemungkinan kenaikan Fed Fund Rate di bulan Juni mendatang. Sehingga, investor menahan untuk mengalirkan dananya ke Indonesia meski BI telah meningkatkan suku bunga kebijakannya.
Selain itu, suku bunga kebijakan obligasi AS, US Treasury sebesar 3,1 persen juga dinilai menjadi pertimbangan lain bagi investor. Ditambah, kemungkinan kenaikan Fed Fund Rate yang diekspektasikan terjadi pada bulan Juni mendatang, diperkirakan akan mendorong imbal hasil US Treasury.
"Jika dibandingkan Indonesia, investor akan tetap memilih AS karena lebih liquid. BI rate nggak akan serta merta menaikkan nilai tukar rupiah karena pasar bermain di ekspektasi," ujarnya, Jumat (18/5/2018). Menurutnya, jika pasar obligasi membaik, baru investor akan kembali masuk ke pasar Indonesia. "Jadi, investor punya dua pilihan, masuk ke pasar Indonesia sekarang, atau menunggu nanti di bulan Juni mereka masuk ke AS ketika suku bunga mereka naik," jelasnya.
Pelemahan ini, ujarnya, merupakan fenomena yang memperlihatkan bahwa investor masih memperhitungkan faktor eksternal sebelum memutuskan untuk terjun ke dalam pasar.
Nilai tukar rupiah pada siang hari ini Jumat (18/5/2018) masih melemah terhadap dollar AS, meskipun Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin. Berdasarkan Bloomberg pada Jumat (18/5/2018) rupiah dibuka menguat di level Rp 14.053, namun dalam pergerakannya hari ini. Namun, hal itu tak berlangsung lama karena rupiah kembali melemah. Pukul 12.38, rupiah diperdagangkan di Rp 14.148 per dollar AS.