Hadapi Penolakan Sawit, Pemerintah Perlu Buat Strategi Dagang
Pemerintah diminta untuk lebih kuat dalam membuat strategi dagang untuk komoditas minyak kelapa sawit | PT Rifan Financindo Berjangka
Kesempatan sama, Michael Bucki EU climate Change and Environment Counselor, menuturkan Eropa belum ada kebijakan resmi untuk melarang perdagangan sawit. “Kami tidak pernah mendiskreditkan sawit. Dan kami mengapresiasi kebijakan Indonesia terhadap sawit,” jelas Bucki.
Direktur Persatuan Negara-negara Penghasil Minyak Kelapa Sawit (Council Palm Oil Producing Countries/CPOPC) Mahendra Siregar menyebutkan hambatan terbesar yang dihadapi sawit muncul karena komoditas tersebut sangat kompetitif. Di sektor hulu, produktivitas sawit terus bertumbuh setiao tahun dan semakin meninggalkan angka produksi minyak nabati dari komoditas lain.
Berdasarkan data Gapki, sepanjang tahun lalu, produksi CPO tercatat mencapai 38,17 juta ton dan palm kernel oil (PKO) sebesar 3,05 juta ton sehingga total keseluruhan produksi minyak sawit Indonesia adalah 41,98 juta ton. Angka itu lebih tinggi 18% dibandingkan 2016 yakni 35,57 juta ton yang terdiri dari CPO 32,52 juta ton dan PKO 3,05 juta ton.
Sebenarnya, lanjut Joko sebagian besar para pengusaha di Benua Biru tidak memiliki permasalahan dengan produk sawit Indonesia. Hal itu dapat terlihat dari masih adanya permintaan ekspor setiap bulannya.
"Pasar itu kan meminta sawit yang berkelanjutan, tidak merusak hutan. Kita sudah penuhi itu. Pengusaha Eropa juga masih beli karena memang tidak ada apa-apa. Secara B2B kita baik-baik saja. Hanya pemerintahnya saja yang mencoba mengganggu," kata dia.
Masalah fundamental perdagangan sawit selama ini memang lebih kepada persaingan dan itu akan terus berlanjut sehingga pemerintah harus mampu mengamankan pasar global yang kini menjadi target penjualan sebesar 70% dari keseluruhan produksi CPO dalam negeri.
Pemerintah diminta untuk lebih kuat dalam membuat strategi dagang untuk komoditas minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) serta produk-produk turunannya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menyatakan pemerintah harus berani mengambil sikap tegas terhadap negara-negara yang telah melakukan kampanye hitam terhadap produk sawit Tanah Air.Hal itu dapat dilakukan melalui kesepakatan perjanjian dagang yang kini tengah coba dirampungkan oleh pihak Indonesia dan Eropa.
"Kita harus dorong kesepakatan melalui perjanjian dagang. Sekarang juga sedang berunding dengan Eropa terkait I-EU CEPA (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement). Ini sudah mundur terus karena sawit. Tapi pemerintah juga tidak boleh lembek," ujar Joko di Jakarta
Strategi Luhut Hadapi Kampanye Negatif Sawit Indonesia | PT Rifan Financindo Berjangka
Minyak sawit memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap ekspor Indonesia. Ekspor kelapa sawit memiliki kontribusi nomor dua terbesar setelah batubara dengan nilai ekspor US$18,5 miliar di tahun 2017 dengan volume mencapai 31 juta ton," tambahnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Mahendra Siregar menilai produk minyak kelapa sawit lebih produktif dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dan energi baru terbarukan di dunia.
"Sawit mampu berproduksi di lahan yang relatif lebih sempit dibandingkan tanaman sumber minyak nabati lain," tegasnya.
Luhut mengungkapkan ancaman terhadap pasar ekspor kelapa sawit Indonesia saat ini berasal dari Uni Eropa dan India. Uni Eropa sedang mendiskusikan pembatasan penggunaan kelapa sawit pada biodiesel yang dipasarkan di Uni Eropa.
"Sementara India menaikkan tarif impor untuk CPO dan turunannya menjadi 44% dan 54%," ujarnya.
Luhut menilai industri kelapa sawit menjadi komoditas penting bagi perekonomian tanah air. Sebab, kelapa sawit memiliki peranan paling besar dalam menggerakkan perekonomian masyarakat.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan pemerintah akan menerapkan diplomasi perdagangan yang menyerang (offensive) dalam menghadapi kampanye negatif terhadap komoditas sawit Indonesia. Luhut memastikan diplomasi yang dijalankan tetap akan mengedepankan dialog dan lobi.
"Kita akan menjelaskan langkah-langkah yang yang sudah diambil oleh pemerintah untuk mendorong penerapan prinsip-prinsip sustainability dalam sektor kelapa sawit," kata dia saat menghadiri seminar bertajuk Hambatan Perdagangan Ekspor Minyak Sawit di Jakarta, Selasa (8/5/2018).
Resolusi UE Diskriminatif Terhadap Industri Sawit | PT Rifan Financindo Berjangka
"Indonesia akan berpegang teguh pada non-discriminative, fair, equitable treatment. Oleh karena itu, kami menolak bila terdapat diskriminasi. Bila produk kami didiskriminasi maka segala langkah akan kami tempuh untuk memperjuangkan hak kami," ungkapnya.
Menanggapi hal tersebut, perwakilan UE menyatakan bahwa resolusi tersebut masih dalam tahap pembahasan. "Kami juga masih akan melakukan kajian lebih lanjut terkait isu deforestasi maupun perubahan iklim yang disebabkan oleh industri sawit," ungkap perwakilan EEAS (European External Action Service) Jakarta, Bucki Michael.
Ketua Umum GAPKI, Joko Supriyono menyatakan akan terus mendorong dan memberikan dukungan kepada pemerintah (strategi perdagangan), agar dapat mencapai solusi yang konkret dan berkelanjutan.
"Perjanjian antar negara memegang peran strategis untuk memberikan jaminan agar produk kelapa sawit dapat diterima di luar negeri. Hal tersebut penting untuk dilakukan, mengingat posisi strategis komoditas sawit bagi Indonesia," pungkasnya.
Disinggung masalah deforestasi, ia mencontohkan bahwa pada tahun 2050, permintaan minyak nabati dunia diperkirakan akan mencapai 400 juta. Dengan rata-rata produksi 6-7 juta ton CPO per hektar maka, 30 tahun mendatang diperlukan sekitar 30 juta ha lahan sawit untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Sementara jika kita harus mengandalkan pada kedelai misalnya, yang memiliki produktivitas 1:10 kelapa sawit, diperlukan sekitar 200-300 juta hektar lahan tambahan.
"Data tersebut bisa menjawab, mana yang menyebabkan lebih banyak deforestasi," imbuhnya.
Sementara itu, melalui Kementerian Perdagangan yang diwakili oleh Staf Khusus Menteri Perdagangan, Lili Yan Ing menyatakan bahwa Pemerintah telah melayangkan surat kepada Komisi UE bahwa mengeluarkan minyak sawit dari bahan bakar biofuels tidak akan menjawab isu deforestasi. Karena isu deforestasi tidak bisa dikaitkan secara langsung dengan industri kelapa sawit.
Pernyataan tersebut mengemuka dalam seminar Menjawab Hambatan perdagangan Ekspor Minyak Sawit di Pasar Global di Singosari Room, Hotel Borobudur Jakarta. Rencana parlemen Uni Eropa untuk mengeluarkan kelapa sawit sebagai salah satu bahan dasar biofuels di Eropa pada tahun 2021 mendapat respon keras dari berbagai kalangan di Indonesia.
"Jika alasan parlemen UE adalah terkait deforestasi dan perusakan lingkungan, maka tuduhan tersebut sama sekali tidak benar. Selama ini industri kelapa sawit telah memenuhi aspek-aspek keberlanjutan sesuai yang diwajibkan oleh Pemerintah melalui ISPO (Indonesia Sustainable palm Oil)," ungkap Direktur Eksekutif Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), Mahendra Siregar dalam keterangan tertulis, Selasa (8/5).