Semester II 2017, BPK Selamatkan Uang Negara Rp2,37 Triliun
(Jokowi) menerima pimpinan dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Istana Merdeka | PT Rifan Financindo Berjangka
Hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa pengelolaan pungutan dan penggunaan dana perkebunan pada BPDPKS dan instansi terkait memadai dan belum sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan terkait pengelolaan pungutan dan penggunaan dana perkebunan kelapa sawit.
Selain itu, BPK juga melakukan pemeriksaan atas upaya penggunaan kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara.
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa upaya Kemenkumham dalam penanganan "overcapacity" pada Lapas dan rutan belum sepenuhnya efektif dalam aspek regulasi, kebijakan dan komitmen, dukungan sumber daya manusia, dukungan sarana dan prasarana dan kerja sama dengan pihak ketiga.
Hasil pemeriksaan yang signifikan pada pemerintah pusat adalah pemeriksaan atas pengelolaan tata niaga impor pangan yang dilakukan pada kementerian Perdagangan.
Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahwa sistem pengendalian intern Kemendag belum efektif untuk memenuhi kepatuhan terhadap ketentian peraturan perundang-undangan.
BPK juga melakukan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDPKS).
Khusus pemantauan pada pemerintah pusat, menunjukkan terdapat kerugian negara senilai Rp719,65 miliar dengan tingkat penyelesaian terdiri angsuran Rp24,64 miliar (3 persen), pelunasan Rp91,67 miliar (13 persen) dan penghapusan Rp48,55 miliar (7 persen).
Sisa kerugian pada pemerintah pusat adalah Rp554,79 miliar atau 77 persen.
IPHS II 2017 memuat 449 laporab hasil pemeriksaan, diantaranya 56 pemeriksaan pada pemerintah pusat, 335 pada pemerintah daerah, BUMD dan BUUD serta 38 pada BUMN dan badan lainnya.
Selain penyelamatan keuangan negara tersebut, BPK dalam IHPS II 2017 ini juga melakukan pemantauan penyelesaian ganti kerugian negara/daerah 2005-2017 dengan status telah ditetapkan.
Hasil pemantauan menunjukkan kerugian negara/daerah yang telah ditetapkan Rp2,66 triliun, yaitu kerugian negara/daerah yang terjadi pada pemerintah daerah, BUMN dan BUMD.
Tingkat penyelesaian yang terjadi pada periode 2005-2017 menunjukkan terdapat angsuran senilai Rp193,63 miliar (7 persen), pelunasan Rp774,65 miliar (29 persen) dan penghapusan Rp70,11 miliar (3 persen).
IHPS II tahun 2017 memuat hasil pemantauan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan (TLRHP) sesuai dengan 2017 atas LHP yang diterbitkan pada 2005-2017.
Secara keseluruhan pada periode 2005-2017, BPK telah menyampaikan 476.614 rekomendasi hasil pemeriksaan kepada entitas yang diperiksa senilai Rp303,63 triliun.
Dari nilai itu yang telah sesuai dengan rekomendasi sebanyak 348.819 rekomendasi (73,2 persen) dengan jumlah Rp151,46 triliun.
Sedangkan dari BPK hadir di antaranya Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara, Anggota BPK Isma Yatun, Anggota BPK Agung Firman Sampurna, Anggota BPK Agus Joko Pramono, Anggota BPK Rizal Djalil dan Anggota BPK Eddy Mulyadi Soepardi.
Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan BPK telah menyelamatkan keuangan negara Rp2,37 triliun pada semester II 2017.
Jumlah itu berasal dari penyerahan aset/penyetoran ke kas negara/daerah/perusahaan selama proses pemeriksaan senilai Rp65,91 miliar, koreksi subsidi Rp1,63 triliun dan koreksi "cost recovery" Rp674,61 miliar.
Presiden saat menerima Pimpinan dan Anggota BPK ini didampingi oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima pimpinan dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Istana Merdeka Jakarta, Kamis (5/4/2018).
Kedatangan Pimpinan dan anggota BPK ini untuk menyampaikan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2017.
Data Pangan Harus Dirapikan | PT Rifan Financindo Berjangka
Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2017, BPK telah memasukan mengenai tata kelola impor pangan. Hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa pengendalian intern atas pengelolaan tata niaga impor pangan belum efektif untuk memenuhi kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, karena sejumlah permasalahan di antaranya mengenai alokasi impor gula kristal putih, beras, sapi dan daging sapi yang ditetapkan dalam Persetujuan Impor (PI) tidak sesuai dengan data kebutuhan dan produksi dalam negeri.
Penerbitan PI dalam rangka menjaga ketersediaan dan stabilisasi harga belum sesuai dengan ketentuan, yaitu tidak sesuai atau tidak melalui rapat koordinasi, tidak didukung data analisis kebutuhan, dan atau tanpa rekomendasi teknis Kementerian Pertanian. Standar operasional penerbitan PI pun belum berjalan optimal dan Kementerian Perdagangan tidak memiliki sistem untuk memantau realisasi impor dan kepatuhan pelaporan importir.
"Ya akan ditindaklanjuti presiden, karena memang data (pangan) itu harus kita rapikan," ujar Moermahadi di Istana Negara usai bertemu Jokowi, Kamis (5/4).
Moermahadi menuturkan, BPK telah memberikan usulan kepada pemerintah bahwa surat impor pangan yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan harus sesuai dengan data yang ada di Kementerian Pertanian, Kelautan, atau Kementerian lain yang berhubungan dengan pangan harus masuk terlebih dahulu. "Kalau tidak ada data ya 'ga' usah (impor)," ujar Moermahadi.
Hal ini juga yang telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). BPK meminta Presiden Jokowi agar mengintruksikan Kementerian dan Lembaga terkait yang berhubungan dengan pangan untuk memperbaiki data pangan, sehingga bisa diketahui jumlah ketika akan mengimpor pangan tertentu.
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan bahwa sistem tata niaga impor pangan di Indonesia masih harus diperbaiki. Karena data yang ada untuk menunjang izin impor pangan belum rapi.
Bertemu Jokowi, BPK Lapor Selamatkan Uang Negara Rp 2,37 Triliun | PT Rifan Financindo Berjangka
Moermahadi berujar, selain penyelamatan keuangan negara, BPK memantau penyelesaian ganti kerugian negara/daerah 2005-2017 dengan status telah ditetapkan. Hasil pemantauan menunjukkan kerugian yang telah ditetapkan senilai Rp 2,66 triliun yang terjadi pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.
"Tingkat penyelesaian yang terjadi pada periode 2005-2017 menunjukkan terdapat angsuran senilai Rp 193,63 miliar (7 persen), pelunasan senilai Rp 774,65 miliar (29 persen), dan penghapusan senilai Rp 70,11 miliar (3 persen)," tuturnya.
Moermahadi menuturkan, khusus pemantauan pada pemerintah pusat, terdapat kerugian negara senilai Rp 719,65 miliar dengan tingkat penyelesaian terdiri atas angsuran senilai Rp 24,64 miliar (3 persen), pelunasan Rp 91,67 miliar (13 persen), dan penghapusan Rp 48,55 miliar (7 persen). "Sisa kerugian pada pemerintah pusat adalah Rp 554,79 miliar (77 persen)," katanya.
Moermahadi berujar pihaknya telah menyelamatkan keuangan negara senilai Rp 2,37 triliun pada semester II 2017. Jumlah itu berasal dari penyerahan ke kas negara, daerah, atau perusahaan senilai Rp 65,91 miliar, koreksi subsidi Rp 1,63 triliun, serta koreksi recovery Rp 674,61 miliar.
Ia menuturkan IHPS II 2017 memuat hasil pemantauan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan hingga 2017 atas LHP yang diterbitkan pada 2005-2017. Secara keseluruhan, kata dia, pada periode 2005-2017, BPK telah menyampaikan 476.614 rekomendasi hasil pemeriksaan kepada entitas yang diperiksa senilai Rp 303,63 triliun.
"Dari nilai itu, yang telah sesuai dengan rekomendasi sebanyak 348.819 rekomendasi (73,2 persen) dengan jumlah Rp 151,46 triliun," ucapnya.
BPK, kata Moermahadi, memeriksa upaya penanganan kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara. "Hasilnya, upaya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam penanganan kelebihan kapasitas pada lapas dan rutan belum efektif dalam aspek regulasi, kebijakan dan komitmen, organisasi, dukungan sumber daya manusia, dukungan sarana dan prasarana, dan kerja sama dengan pihak ketiga," ujarnya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2017 dari pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Penyerahan dilakukan di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 5 April 2018, sekitar pukul 10.00.
Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan hasil pemeriksaan signifikan pada pemerintah pusat terkait dengan pengelolaan tata niaga impor pangan yang dilakukan Kementerian Perdagangan. "Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahwa sistem pengendalian intern Kemendag belum efektif untuk memenuhi kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan," katanya di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis, 5 April 2018.
Selain itu, BPK memeriksa pengelolaan keuangan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Hasilnya, pengelolaan pungutan dan penggunaan dana perkebunan pada BPDPKS dan instansi terkait lain pada 2015-2017 belum didukung penuh sistem pengendalian intern yang memadai dan belum sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.