Volatilitas Rupiah dan Berakhirnya Rezim Suku Bunga Rendah
Pengaruh negatif terhadap kinerja perekonomian | PT Rifan Financindo Berjangka
Bagaimana dampaknya? Perang tarif atau proteksionisme merupakan kemunduran besar dalam khazanah perekonomian dunia yang sudah masuk ke era liberalisasi, sejak berdirinya World Trade Organization (WTO) sejak 1 Januari 2015. Masyarakat akan membayar lebih mahal barang-barang impor yang mereka konsumsi sehari-hari. Perekonomian menjadi bergerak ke arah biaya tinggi (high cost economy) yang berujung pada inefisiensi. Era itulah yang diprediksikan ekonom pemenang Hadiah Nobel, Paul Krugman (2017), sebagai 'Trump akan menyeret perekonomian dunia ke arah resesi'.
Dengan logika tersebut, sekonyong-konyong terdapat dua reaksi. Pertama, apresiasi dolar AS yang sebelumnya kencang menjadi tertahan. Kurs dolar AS sedikit terkoreksi. Kedua, pasar melihat prospek perekonomian ke depan menjadi lesu. Karena itu, para investor global pun melepaskan saham-sahamnya di bursa global, terutama di New York Stock Exchange. Dow Jones indeks pun rontok hingga penutupan akhir pekan lalu hanya 23.533. Padahal, rekor tertinggi pernah mencapai 26.616, yang terjadi pada 26 Januari 2018.
Kenaikan suku bunga AS ini serta-merta direspons kenaikan kurs dolar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia, termasuk Indonesia. Itulah sebabnya rupiah cenderung melemah sehingga Bank Indonesia (BI) harus berjibaku melawannya dengan melakukan intervensi ke pasar uang dengan melepas sebagian cadangan devisanya. Cadangan devisa yang sebelumnya mencapai rekor tertinggi sepanjang masa, hampir USD132 miliar, terpaksa terkoreksi menjadi USD128 miliar, atau bahkan kurang.
Namun, dinamika belum berhenti. Selagi kita masih tertegun oleh dinamika sektor finansial ini, tiba-tiba Presiden Donald Trump melaksanakan rencana kebijakannya yang kontroversial: mengenakan pajak terhadap barang-barang impor. Rencana tersebut kini bukan lagi menjadi wacana, melainkan benar-benar menjadi realitas. Seperti sudah terbayangkan sebelumnya, lawan dagang terbesar AS, yakni Tiongkok, tidak tinggal diam. Mereka pun melawannya dengan menaikkan tarif maka perang tarif (trade war) pun tak terelakkan lagi.
Ketika perekonomian AS mulai pulih sejak Mei 2013, berangsur-angsur suku bunga perlu kembali dinaikkan. Jerome Powell pun tampaknya merasa saat inilah momentum yang tepat untuk mengembalikan suku bunga AS ke level normal. Sejauh ini belum ada pernyataannya tentang berapakah level suku bunga AS bisa dianggap normal, tapi perkiraan saya di atas dua persen. Angka ini saya sinkronkan dengan level inflasi di AS yang dianggap normal pada dua persen. Jadi, jika inflasi dua persen, suku bunga normal ialah sedikit di atas itu, katakanlah 2,5 persen. Jadi, jika sekarang suku bunga The Fed pada kisaran 1,50-1,75 persen, masih tersisa ruang untuk menaikkan suku bunga acuan AS hingga 3-4 kali lagi.
Kini pertanyaannya, apakah Jerome Powell perlu melakukannya sekaligus tahun ini? Menurut saya, tidak perlu. Powell bisa mengaturnya sedemikian rupa, disesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya, bisa saja tahun ini FFR dinaikkan hanya dua kali lalu selebihnya bisa dilakukan pada 2019. Jika semua kenaikannya dibebankan hanya pada tahun ini, hal itu bisa menimbulkan apresiasi dolar AS yang berlebihan (overshoot). Kurs dolar AS bisa menjadi terlalu kuat (overvaluaed) yang akan berdampak negatif pada neraca perdagangannya, terutama terhadap rival utamanya, Tiongkok (defisit USD375 miliar setahun).
Melemahnya rupiah sejak akhir Februari dan awal Maret 2018, jelas disebabkan faktor eksternal, terutama dinamika besar yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Setelah dalam pidato pertamanya, Ketua The Fed yang baru Jerome Powell mengindikasikan akan adanya kenaikan suku bunga 3-4 kali tahun ini, akhirnya rencana tersebut benar-benar mulai dieksekusi. Pada 22 Maret 2018, The Fed mulai menaikkan suku bunga acuannya dengan 25 basis poin, menjadi 1,50-1,75 persen.
Hal itu terutama ditopang kinerja perekonomian AS yang memang sedang baik. Pada Februari 2018, data penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian (US nonfarm payrolls) mencatat angka 313 ribu orang. Itu merupakan angka yang sangat tinggi, bahkan melebihi prestasi pada era Presiden Barack Obama. Angka penyerapan tenaga kerja juga sangat impresif selama empat bulan sebelumnya: 271 ribu orang (Oktober 2017), 216 ribu (November), 175 ribu (Desember), dan 239 ribu (Januari 2018).
Padahal, sesungguhnya, hampir semua indikator ekonomi makro kita sedang berada pada kondisi normal, bahkan terus membaik, seperti inflasi, suku bunga, neraca perdagangan, transaksi berjalan, neraca pembayaran, cadangan devisa. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah pelemahan rupiah juga tercampur oleh faktor politik? Bagaimana kita mesti melawannya? Amunisi apa yang masih kita punyai?
TAHUN 2018 sejak jauh-jauh hari sudah diantisipasi dan dikarakterisasikan sebagai tahun politik. Karena selain akan terjadi pilkada serentak, tahun itu juga menjadi tahun penentuan bagi para calon presiden dan wakil presiden, yang nominasinya sudah harus dilakukan pada Agustus 2018 ini.
Karena itu, timbullah opini bahwa tahun politik 2018 akan memberi pengaruh negatif terhadap kinerja perekonomian. Karena kebetulan momentumnya persis 20 tahun sesudah terjadinya krisis ekonomi 1998, serta 10 tahun sesudah krisis finansial global 2008, sebagian orang pun percaya terhadap adanya 'siklus krisis ekonomi 10 tahunan'.
Hipotesis seperti itu menjadi seolah-olah 'klop' tatkala dalam empat pekan terakhir rupiah mengalami volatilitas--dengan kecenderungan melemah--dari Rp12.700-an per USD menjadi Rp13.500-an per USD, bahkan sesekali juga menembus Rp13.800 per USD.
Konsolidasi Korporasi Picu Perlambatan Pertumbuhan Kredit | PT Rifan Financindo Berjangka
Di sisi lain, BI menargetkan pertumbuhan kredit sebelas persen pada tahun ini. Target itu meningkat daripada tahun sebelumnya yang sebesar 7,7 persen.
”Sebenarnya, kondisi perbankan memiliki likuiditas cukup baik. Mereka punya liquidity yang cukup. Namun, yang jadi masalah, belum adanya demand karena ada konsolidasi perusahaan-perusahaan,” kata Linda, Jumat (23/3).
Menurut Linda, pelemahan penyaluran kredit juga dipicu pola intermediasi tahunan yang memang cenderung turun pada awal tahun.
Pertumbuhan kredit pada awal tahun memang cenderung rendah.
Pada Januari 2018, jumlah kredit yang disalurkan perbankan hanya tumbuh 7,4 persen.
Angka tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya yang mencapai 8,2 persen.
Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI) Linda Maulidina menuturkan, melambatnya pertumbuhan kredit pada awal tahun lebih dipengaruhi proses konsolidasi korporasi yang masih berlangsung.
Proses konsolidasi tersebut berjalan sejak tahun lalu. Dampaknya, permintaan kredit perbankan menurun.
Dolar AS Terdepresiasi, Rupiah Berpotensi Menguat Pekan Depan | PT Rifan Financindo Berjangka
Pada awal pekan ini, rupiah digempur sentimen negatif baik dari eksternal maupun internal. Dari eksternal, perbaikan ekonomi AS membuat para pelaku pasar mengantisipasi kenaikan suku bunga oleh The Fed secara agresif. Sementara dari internal, pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution soal pertumbuhan ekonomi kuartal pertama yang melambat turut menekan rupiah.
"Rupiah mencoba menguat di tengah laju dolar AS yang cenderung tertahan jelang pertemuan The Fed. Tidak beberapa lama, laju rupiah berbalik melemah. Adanya optimisme akan terjadinya kenaikan suku bunga The Fed membuat laju rupiah berbalik melemah meski tipis," ucapnya.
Usai keputusan The Fed, dolar AS melemah. Selain itu, potensi perang dagang AS dan China membuat dolar AS terus tertekan. Namun, rupiah tidak mampu memanfaatkan pelemahan ini sehingga terdepresiasi selama sepekan.
Reza memprediksi laju rupiah pekan depan berada pada rentang support 13.796 dan resisten 13.764 per dolar AS. Para pelaku pasar diharapkan tidak lagi wait and see seperti pekan ini meski tetap harus waspada terhadap sentimen-sentimen yang muncul ke depan.
“Tetap cermati dan waspadai berbagai sentimen yang dapat menghalangi potensi penguatan lanjutan pada rupiah,” kata Reza.
Pada pekan ini, para pelaku pasar menahan diri menjelang pertemuan anggota The Fed dan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia soal suku bunga. Sempat menguat tipis, rupiah melemah 0,27 persen selama sepekan ini. Padahal pada pekan sebelumnya, rupiah terapresiasi 0,25 persen terhadap dolar AS.
Pada pekan ini, rupiah berbalik melemah dan tidak mampu memanfaatkan pelemahan kurs dolar Amerika Serikat (AS) usai keputusan suku bunga bank sentral AS The Fed.
Analis Binaartha Sekuritas Reza Priyambada mengatakan, kondisi internal Amerika cenderung negatif sehingga mendorong pelemahan greenback. Selain kenaikan suku bunga Fed Fund Rate, ekonomi AS juga mendapat reaksi negatif dari perang dagang antara AS dan China.
“Diharapkan pelemahan tersebut sementara seiring masih melemahnya laju dolar AS yang terimbas kondisi politik dan ekonomi di dalam negerinya, dan kembali membuat rupiah dapat menemukan momentum kenaikannya,” kata Reza dalam risetnya, Minggu (25/3/2018).