Asosiasi E-Commerce Ingin Kemenkeu Uji Publik Sebelum Tarik Pajak
(idEA) mengingatkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk melakukan uji publik | PT Rifan Financindo Berjangka
Aulia mengungkapkan, pemerintah perlu mempertimbangkan dampak sosial atas diberlakukannya kebijakan tersebut, sehingga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan usaha kecil menengah (UKM).
Aulia melanjutkan, mengingat sebagian besar pelaku usaha di marketplace adalah pelaku usaha skala kecil yang baru memulai bisnisnya, maka secara prinsip idEA mendukung jika dalam RPMK Pajak e-commerce diterapkan tarif PPh Final sebesar 0,5 peren bagi pelaku usaha yang memiliki omzet sampai dengan Rp 4,8 miliar dalam setahun
"Penerapan aturan perpajakan tersebut diperlukan untuk mendorong UMKM offline bertransformasi menjadi UMKM online, memudahkan pemungutan pajak di masa datang, sekaligus meningkatkan efisiensi dan daya saing UMKM Mikro di Indonesia," tutur Aulia.
Aulia melanjutkan, idEA menginginkan ada perlakuan yang sama antara e-commerce marketplace dan media sosial, sehingga aturan tersebut menjangkau seluruh segmen platform. Lantaran jika tidak ada perlakuan yang sama, maka akan membuat penjual di marketplace beralih ke media sosial.
"Intinya, perlakuan antara e-commerce marketplace dengan yang media sosial, dengan kehadirannya bahkan tidak di negara ini. Bukan hanya karena kantornya sudah ada di sini, lalu jadi beres," tutur dia.
Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) mengingatkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk melakukan uji publik atas Rancangan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Perpajakan Pelaku Usaha Perdagangan Berbasis Elektronik (RPMK Pajak E-Commerce) sebelum diterbitkan.
Ketua Umum idEA Aulia E Marinto mengatakan, selama ini pihak Kementerian Keuangan baru membahas mengenai konsep RPMK Pajak E-Commerce, tapi hal tersebut perlu diperdalam dengan uji publik untuk mendengarkan masukan dari seluruh pemangku kepentingan. Lantaran, jika kebijakan baru sudah diterbitkan akan berdampak ke pelaku industri.
"Kami mendorong pemerintah uji publik, selama ini baru bicara konsep. Uji publik atas naskah RPMK Pajak e-commerce harus dilakukan sebelum disahkan agar azas formal dan material pembentukan peraturan terwujud," kata Aulia, di Jakarta, Selasa (30/1/2018).
e-Commerce Belum Jadi Tempat Jualan Online Paling Favorit | PT Rifan Financindo Berjangka
Ketua Bidang Pajak Cybersecurity Infrastruktur idEA Bima Laga, mengatakan bila terjadi perlakuan yang berbeda mengenai kebijakan e-commerce dengan media sosial, maka akan membawa dampak yang buruk terhadap perkembangan e-commerce di Indonesia.
"Marketplace dibebankan menarik pajak dari penjual dan menyetornya. Kalau bisa aturan ini juga diterapkan di luar marketplace, seperti e-commerce," ujarnya di D Lab, Jakarta, Selasa (30/1/2018).
Bilamana tidak begitu, maka dikhawatirkan akan terjadi shifting. Orang nantinya akan lari berjualan di media sosial. "Kita bisa mematangkan aturan ini secara berbarengan. Sehingga kalau aturan ini dikeluarkan, semuanya menjalankan. Di ekosistem juga lebih enak," tuturnya.
Facebook menjadi urutan nomor satu dengan persentase 43%. Sementara di posisi kedua ditempati oleh marketplace dengan persentase 16% dan di posisi ketiga disebut masih belum online.
Survei ini dilakukan pada 1.800 koresponden di 11 kota besar, antara lain Jakarta, Yogyakarta, Makassar, Surabaya, Medan, Palembang, Pontianak, Balikpapan, Semarang, Solo dan Denpasar. Berkaca dari hasil survei tadi, memang diakui media sosial masih menjadi platform favorit berjualan online.
Selain melalui platform e-commerce, seperti marketplace, iklan baris, dan lainnya, transaksi jual beli online juga kerap dilakukan di media sosial. Dari hasil Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA), ditemukan fakta bahwa Facebook menjadi media sosial favorit masyarakat Indonesia.
idEA Tuntut Jual Beli Online di Media Sosial Dikenakan Pajak | PT Rifan Financindo Berjangka
Bima khawatir ketiadaan pajak untuk jual beli online di media sosial menciptakan celah (loophole) sehingga para penjual online akan pindah menggelar lapak dagangannya dari market place ke media sosial.
Padahal, kata dia, media sosial tidak memiliki sistem yang jelas dan akuntabel sehingga tidak aman. Selain itu, pemerintah pun kesulitan untuk melakukan pengawasan.
"Kalau misalnya ini diterapkan dampak sosialnya shifting ke platform yang notabene tidak dijagain dalam arti pengolekan dan pembayaran pajaknya," kata Bima.
Perpindahan ini, kata Bima juga akan berdampak negatif pada market place karena penjual dan pembeli tidak lagi berminat menjual di market place. Jumlah kunjungan pun aka sepi, padahal banyak perusahaan market place di Indonesia sudah berinvestasi dalam jumlah yang besar. Ujungnya, pemerintah pun rugi karena tidak mendapatkan apa-apa.
"Sedangkan market place yang ada di Indonesia punya investasi dan impact yang tidak sedikit. Mereka yang sudah berusaha menerapkan ekonomi digital dan sebagainya itu juga harus dipikirkan," ujarnya.
Perlakuan yang sama antara e-commerce marketplace dan sosial media dengan yang kehadirannya bahkan tidak di negara ini. Jangan karena kantor ada di sini tapi tidak terjangkau aturan. Itu karenanya harus ada aturan yang sama supaya bisa menjangkau semua," kata Aulia di Jakarta, Selasa (30/1/2018).
Sementara itu, para penjual (seller) di market place selama ini sudah pajak pertambahan nilai (PPN) untuk produknya atau beriklan di market place. Selain itu, pihak market place pun selalu taat membayar PPN dan pajak penghasilan (PPh) ke pemerintah, termasuk saat menerima pendapatan dari iklan yang masuk.
“Seller apa tidak bayar pajak? Bayar kalau di market place. Kesannya market place tidak bayar pajak. Saya berkali-kali meng-clear-kan ke pemerintah, kalau ada iklan kami pasti bayarkan PPN atau PPh ke pemerintah. Kenapa aturan ini mengatur ke market place saja?" tanya Bima Laga, Ketua Bidang Pajak, Cybersecurity, Infrastruktur idEA.
Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) mengkritik aturan pajak yang tengah dibahas pemerintah karena hanya menyasar jual beli online dengan basis platform market place. Mereka ingin pemerintah menciptakan keadilan dalam beleid tersebut dengan menerapkan pajak serupa untuk jual beli online di media sosial.
Ketua Umum idEA Aulia Marinto mengatakan, transaksi jual beli online bukan hanya terjadi di market place. Dia menyebut, transaksi jual beli online paling banyak justru terjadi di media sosial seperti Facebook dan Instagram. Porsinya pun mencapai 43 persen atau lebih besar dari transaksi jual beli online di market place seperti Tokopedia dan Bukalapak yang hanya 16 persen.