Susahnya Mencari Data Pengguna Mata Uang Virtual di Indonesia
Kehadiran mata uang virtual menimbulkan pro dan kontra di seluruh dunia | PT Rifan Financindo Berjangka
![](https://static.wixstatic.com/media/7e94e9_8f6afa4013fa4909a9b2a14aa94e73cc~mv2.jpg/v1/fill/w_675,h_426,al_c,q_80,enc_avif,quality_auto/7e94e9_8f6afa4013fa4909a9b2a14aa94e73cc~mv2.jpg)
Namun, Oscar mengakui adanya peningkatan jumlah pengguna bitcoin. Ini terjadi sejalan dengan peningkatan nilai mata uang virtual tersebut dalam beberapa waktu terakhir, bahkan hingga menembus rekor tertinggi.
Oscar menyatakan para pengguna pada Bitcoin Indonesia didominasi oleh generasi milenial. Mereka adalah generasi yang rata-rata berusia 17 sampai 35 tahun. "Rata-rata dari generasi milenial khususnya mahasiswa," ucap Oscar.
Ia mengungkapkan, kondisi tersebut terjadi lantaran kebanyakan orang yang memahami teknologi blockchain adalah mereka yang terpelajar dan masih muda. Pasalnya, memahami teknologi blockchain bukan hal yang mudah.
Data-data yang ada, penggunaan bitcoin (dan mata uang virtual lainnya) lebih (berisiko) kepada kejahatan karena sifatnya pseudonim (identitasnya disamarkan), datanya sulit dilacak. Ini nyaman sekali untuk kejahatan karenanya identitasnya tidak diketahui.
Kami sudah memperingatkan PJSP (Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran) untuk tidak menggunaan mata uang virtual. Kalau ada yang melanggar, akan diberlakukan sanksi keras.
Sebelumnya, Kompas.com telah berbincang dengan CEO Bitcoin Indonesia Oscar Dharmawan. Ia tidak menyebut secara pasti mengenai jumlah pengguna bitcoin di Indonesia.
BI memperingatkan agar pengguna berhati-hati. Kalau bisa jangan menjual atau membeli mata uang virtual. Risikonya tidak hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk stabilitas sistem keuangan.
Terkait dengan alat pembayaran, aturannya ada tiga, yaitu Undang-undang Mata Uang, PBI PTP, PBI fintech, dan juga kewajiban penggunaan rupiah.
Kewenangan BI adalah di sistem pembayaran dan stabilitas sistem keuangan. Kami terus berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait, seperti OJK (Otoritas Jasa Keuangan), Kementerian Perdagangan, Bappebti, Kementerian Keuangan, dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan).
Aturan kami jelas. Mata uang virtual tidak diperbolehkan dan sudah dilarang. Ada dua PBI (Peraturan Bank Indonesia) yang sudah melarang perusahaan menggunakan mata uang virtual, yakni soal PTP (Pemrosesan Transaksi Pembayaran) dan fintech (teknologi finansial).
Bank Indonesia (BI) pun telah dengan tegas menyatakan pelarangan jual, beli, maupun perdagangan mata uang virtual dalam bentuk apapun.
Dalam media briefing, Senin (15/1/2018), Kepala Pusat Program Transformasi BI Ony Widjanarko dan Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Eni V Panggabean menjelaskan rincian mengenai larangan tersebut dan kondisi mata uang virtual di Indonesia saat ini.
Perkembangan mata uang virtual dalam beberapa tahun terakhir sangat pesat. Bahkan, pada tahun 2017 saja, sejumlah mata uang virtual dengan kapitalisasi pasar terbesar di dunia mengalami penguatan nilai secara fantastis.
Namun, kehadiran mata uang virtual menimbulkan pro dan kontra di seluruh dunia. Beberapa negara, termasuk Indonesia, melarang peredaran mata uang virtual karena berisiko tinggi, fluktuatif, dan spekulatif.
Soal uang digital, BI ancam sanksi | PT Rifan Financindo Berjangka
Menurut Eni, terdapat empat karakteristik mata uang virtual yang berpotensi menimbulkan risiko. Pertama, tidak adanya regulator dalam mata uang elektronik. Akibatnya, tidak ada kepastian hukum, best practice atau standar internasional untuk memastikan keamanan.
Kedua, karakteristik transaksi mata uang ini bersifat peer to peer alias tidak ada perantara secara formal. "Tidak ada penengahnya karena person to person dan yang lain bisa membaca. Jadi tidak ada yang bisa komplain ke pedagangnya," tandas Eni.
Ketiga, identitas pelaku transaksi tersamarkan alias tidak dapat diidentifikasikan dengan transaksinya dapat dimanfaatkan untuk aktivitas ilegal. Keempat, tidak terdapat entitas sentral yang menjadi subjek pengaturan. Ini membuat fluktuasi harga mata uang virtual cukup drastis lantaran penerbitan dan harga ditentukan oleh pasar.
"Ini bukan isu baru, beberapa kali sudah dilontarkan (larangan) tapi lebih baik kami kembali ingatkan bahwa ada hal-hal penting yang harus diwaspadai dan kami peringatkan untuk tidak dilakukan," tandas Eni, Senin (15/1).
Oscar Darmawan, Chief Executive Officer (CEO) Bitcoin.co.id tidak memberikan respons ketika dimintai komentar soal kebijakan BI itu.
Sejumlah bank sentral dunia memiliki kebijakan beragam soal mata uang virtual ini. Sejumlah bank sentral memilih melarang penggunaan uang virtual untuk alat transaksi. Misal, Bank Sentral Eropa telah berulang kali mengingatkan tentang bahaya berinvestasi pada mata uang digital. Pandangan serupa juga dilontarkan Bank Sentral Korea Selatan dan Bank Sentral China.
Sebaliknya, Bank Sentral Jepang memilih memberi ruang bagi uang digital seperti bitcoin.
Implikasi dari aturan ini antara lain adalah perusahaan penyedia jasa sistem pembayaran (PJSP) yang memproses transaksi menggunakan virtual currency dapat dikenakan sanksi teguran, denda sampai pencabutan izin.
Larangan ini juga diperkuat lewat Pasal 8 ayat (2) PBI No 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial yang intinya menyebutkan penyelenggara teknologi finansial dilarang melakukan kegiatan sistem pembayaran dengan menggunakan mata uang virtual.
Tak main-main, jika perusahaan tekfin tersebut kedapatan menggunakan mata uang virtual sebagai alat pembayaran maka perusahaan tersebut dapat dihapus dari tanda daftar BI sehingga tidak dapat bekerjasama dengan perusahaan penyedia jasa sistem pembayaran.
Ruang gerak transaksi mata uang digital di Indonesia semakin sempit. Bank Indonesia (BI) mengancam akan menindak pelaku usaha yang mempergunakan mata uang virtual sebagai alat transaksi. Termasuk bagi perusahaan jasa keuangan yang memproses transaksi pembayaran menggunakan mata uang digital.
BI tak menerbitkan aturan baru untuk melarang penggunaan uang virtual seperti bitcoin tersebut. Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Eni Panggabean menegaskan, larangan penggunaan mata uang digital sebagai alat pembayaran, sudah diatur dalam pasal 34 Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran.
BI Siapkan Sanksi Keras Transaksi Pakai Bitcoin - MENGANCAM STABILITAS | PT Rifan Financindo Berjangka
Dia mengaku, OJK akan mengatur mengenai investasi bitcoin di Indonesia. Namun sayangnya, Hoesen tidak menyebutkan secara spesifik apakah akan dilarang atau diberikan izin resmi di Tanah Air.OJK mengimbau kepada masyarakat atau pemilik modal untuk mengecek lebih dulu dasar hukum dan segala hal sebelum berinvestasi mata uang virtual seperti bitcoin.”Kita mau ingatkan ke masyarakat cek dulu ada dasar hukumnya atau tidak, kan kita punya website dan call center yang bisa dihubungi kalau ragu," jelas Hoesen.
Menurut dia, penggunaan mata uang virtual atau bitcoin yang secara tegas disebutkan bukan merupakan alat pembayaran yang sah, termasuk sebagai produk investasi, tentunya akan ada risiko bagi para pemegangnya.”Risiko pasti ada. Mata uang virtual bitcoin ini kan masih tertutup, masih satu komunitas tersendiri. Kalau uang kan jadi alat tukar, jika dia mau mengeluarkan dari sistem, harus pindah lagi atau mencairkan dulu," tegas Hoesen.
Penggunaan mata uang digital di Indonesia terdapat di tiga konsep yakni sistem pembayaran (payment), dompet atau pengiriman dan penerimaan (wallet), pertukaran (exchange) dan "mining".
BI mengatur di sistem pembayaran, mencegah dampak penggunaannya terhadap stabilitas sistem keuangan dan juga perlindungan konsumen.”BI di sistem pembayaran. Kami terus koordinasi dengan instansi terkait, seperti OJK, untuk perdagangannya dengan Bappebti. Apakah ada sanksi jika mata uang digital digunakan sebagai komoditas, itu bukan di BI, tapi kami koordinasi. Mungkin di BI di bagian komoditas tidak ada kewenangan tapi memperingatkan agar tidak diperjualbelikan karena risikonya tadi untuk stabilitas sistem keuangan dan masyarakat," ujar Onny.
Sebelumnya, OJK menegaskan bahwa investasi mata uang digital, seperti bitcoin, altcoin belum berizin secara resmi di Indonesia. OJK akan mengatur tentang transaksi atau investasi bitcoin sehingga mencegah kasus penipuan investasi bodong.“Investasi bitcoin belum ada izinnya. Investasi ini kan belum kita atur, karena belum dilakukan secara terbuka," kata Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Hoesen.
Mata uang digital dengan pangsa pasar terbesar adalah Bitcoin dengan kontribusi sebesar 33% atau jika dikapitalisasikan sebesar US$ 246 miliar. Secara total, menurut Coinmarketcap, terdapat 1.400 mata uang digital saat ini di dunia, dengan yang terbesar adalah Bitcoin dan Etherum. Transaksi mata uang digital dengan nilai permintaan yang berlebihan dapat menciptakan gelembung harga (bubble) yang berbahaya bagi stabilitas sistem keuangan.
Selain berbahaya bagi stabilitas, transaksi mata uang digital juga berbahaya bagi perlindungan konsumen, stabilitas sistem pembayaran dan rawan digunakan sebagai modus tindakan kejahatan seperti penampungan dana terorisme dan pencucian uang. Kepala Pusat Program Transformasi BI, Onny Widjanarko mengatakan, BI akan berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bappebti dan juga instansi lainnya untuk mengeluarkan sikap bersama terkait penggunaan mata uang digital di Indonesia.
Eni mengklaim larangan transaksi Bitcoin dan mata uang digital lain yang dikeluarkan sejak 2014 berlaku cukup efektif. Hingga saat ini, menurut dia, BI belum menemukan perusahaan jasa sistem pembayaran yang melayani transaksi mata uang digital. Namun dengan perkembangan mata uang digital yang pesat di seluruh dunia, Eni mengatakan masyarakat perlu lebih berhati-hati dan tidak tergiur dengan iming-iming melonjaknya nilai mata uang digital.”Karakteristik mata uang digital tidak ada regulator, pseudonim, nama penggunanya juga tersamarkan sehingga rentan digunakan sebagai tindak kejahatan. Selain itu tidak ada otoritas sentral yang mengatur," ujar dia.
Besarnya minat masyarakat berinvestasi di Bitcoin membuat reaksi keras bagi Bank Indonesia dengan mengancam akan memberikan sanksi keras bagi setiap penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) termasuk perbankan yang melayani transaksi menggunakan Bitcoin dan mata uang digital lain.”Kami tegaskan kami akan panggil dan kami kenakan sanksi keras. Sudah ada empat peraturan di Indonesia yang melarang mata uang digital," kata Direktur Eksekutif Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI, Eni V. Panggabean di Jakarta, Senin (15/1).
Sikap otoritas sistem pembayaran tersebut muncul setelah transaksi mata uang digital (cryptocurrency) semakin berkembang di Indonesia, seperti nilai Bitcoin yang sudah melonjak 164 kali menjadi Rp214,4 juta sejak April 2013 hingga Januari 2018. Bank Sentral juga mengingatkan transaksi dan Bitcoin tidak bisa dicairkan melalui perusahaan jasa sistem pembayaran.